Wednesday, October 3, 2012

Moscow, dan stasiun metronya

Alhamdulillah, bulan Oktober ini kami memasuki bulan kedua tinggal di Moscow. Tepatnya pada tanggal 23 Agustus kami memulai hidup menetap disini. Seminggu sesudahnya, kami pindah dari hotel Lotte, di daerah Arbat, pusat kota, ke kompleks apartemen Alye Parusa, luar kota, di daerah Moscow Tenggara yang berada tepat di pinggir sungai Moscow.

Saat kami menginjakkan kaki untuk pertama kalinya, 1 Juli 2012, suhu udara sedang panas-panasnya. Anak-anak lebih memilih tinggal dihotel, bermain dan berenang, dari pada menjelajah kota. Memang suhu panas dan lembab sangat tidak nyaman untuk mereka. Apalagi belum tentu taksi bisa didapat. Transportasi yang paling mudah dan cepat, dengan metro. Metro menjangkau dari ujung utara ke selatan, barat ke timur. Seandainya tujuan jauh dari stasiun metro, tersedia sambungan transportasi berupa tram listrik dan bus yang murah dan cukup banyak. Untunglah, kami hanya tinggal selama dua minggu. Menjelang Ramadhan, kami pulang kampung. Puasa di musim panas terlalu berat untuk anak-anak. Subuh dimulai jam 02.50, dan diakhiri 22.05. Subhanallah.




Saat ini, di awal musim gugur, suhu kadang-kadang sudah mencapai 3 derajat di pagi hari. Anak-anak pun berangkat dengan jaket tebal. Syal dan sarung tangan selalu ditanggalkan belum sampai di depan pintu lift. Terpaksalah saya simpan dulu. Belum waktunya mungkin. Repotnya, siang hari, suhu cukup sejuk, sekitar 10-12 derajat, sehingga saat pulang sekolah jaket sudah terlepas pula. PAdahal tanpa jaket, temperatur itu cukup dingin untuk keluar tanpa baju hangat. Solusinya, diluar seragam selalu saya pasangkan sweater untuk mereka. Semoga itu cukup melindungi.

Di Moscow, statiun metro yang banyak tersebar di seluruh penjuru kota mempunyai desain yang sangat menarik dan berbeda-beda. Ini sangat membantu saya untuk mengingat-ingat. Maklum, pengetahuan huruf yang masih baru, membuat saya perlu waktu beberap menit untuk membacanya.

Ada stasiun yang mempunyai banyak patung. Di bagian yang ada patung anjing, banyak orang yang berhenti sebentar, menyempatkan diri untuk mengelus atau memegang anggota tubuh anjing tersebut. Karena terlalu sering dipegang, warnanya sampai berubah. Konon, dengan itu, mereka berharap bisa kembali ke kota Moscow lagi, Ada juga yang berkata, itu adalah ekspresi rasa sayang mereka pada anjing.
What do you wish Naila by touching the dog statue? Nothing Mum, It is shirk if I do that.



Puluhan ribu commuter menggunakan transportasi anti macet ini. Sempatkah mereka menikmati keindahannya?


Tuesday, October 2, 2012

Birthday? Hari yang istimewakah?

Dua belas tahun yang lalu, di kota kecil bernama Comodoro Rivadavia, bayi ini lahir. Setelah dua minggu ditunggu tak juga lahir, maka dokter Enrique Lanzani pun memutuskan untuk melakukan tindakan operasi cesar. Sebelumnya, setiap pagi saya harus melakukan pengecekan kondisi bayi. APakah gerakan masih aktif dll. Ketika akhirnya seminggu lebih tak juga ada pembukaan, sedangkan induksi tak mungkin lagi dilakukan, maka Naila pun lahir dengan jalan operasi.

Jam 08.00 pagi, kami masih kontrol biasa, dan saat itu diputuskan untuk operasi. "Ssst, no hable si ya comiste una barra de chocolate..." bisik dr LAnzani. Memang, perut yg seharusnya kosong sebelum operasi sudah saya isi dengan sebatang coklat, agar si bayi aktif bergerak saat di monitor.

Dan...jam 11 siang pun kami sudah berada di Hospital Espanola. Ketika diminta baju bayi oleh perawat sebagai persiapan sebelum bayi lahir, astoghfirullahal adziim... tas hanya berisi baju-baju saya. Rupanya semalam, ketika saya melakukan pengecekan ulang, tidak kembali saya masukkan ke dalam tas. Terpaksalah Pak Mei pulang untuk mengambilnya. Hfff untung dekat. JAraknya 3 km saja.

Kemarin, kami mencium dan membangunkan si mantan bayi itu, dengan penuh rasa syukur. "Where is the present?" Oops, bangun tidur kok langsung nagih. Bukankah sudah ada boot cantik? Sudah ada bean bag seperti yang kau minta, anakku? "No, Azul dan Zahra belum kasih hadiah...." Hahahaha, she knew that! Dia tahu kalau papanya masih menyisakan dua buah hadiah untuknya, yang dibeli di Madrid minggu lalu.

Ulang tahun? Bid'ah, Atik!! Yes, I knew it. Saya selalu mencoba untuk tidak merayakannya. Tapi untuk melupakan bahwa itu hari yang istimewa, dan menjadikannya sebagai hari biasa, kadang sulit untuk diwujudkan. Si anak, yang tumbuh dalam lingkungan barat, menuntut untuk menjadi istimewa di hari itu. Maka, walaupun tidka dirayakan dengan mengundang teman sekolah misalnya, tapi kami memberikan sesuatu hadiah untuk mereka. Sebagai imbangan, kami juga selalu berusaha memberikan hadiah pada hari raya Muslim. Agar mereka sadar, bahwa hari itu adalah hari istimewa bagi kaum muslim.

Bayangkan, bagaimana gembiranya Naila, saat pulang sekolah datang dengan segudang cerita. Setiap ada session kelas yang diikuti, selalu diawali dengan lagu happy birthday ke dia. Setiap dia mencoba menjawab pertanyaan, atau berbicara di dalam kelas, diikuti dengan lagu itu pula. Bahkan ketika masuk ke cafetaria sekolah, semua berdiri dan menyanyikan lagu itu untuknya. Yang terakhir, dalam assembly pun, semua menyanyikannya. Guru, teman dan semua yang hadir. Mungkin, karena dia siswa baru di sekolah itu, dia mendapat perlakuan istimewa, begitu jalan pikiran saya. Efeknya? Sehari sebelumnya dia yang complain tentag sekolahnya, karena teman-temannya suka pinjam alat2 tulis dan jarang kembali lagi, hari itu datang dengan kalimat " I love that school!"

Berikut tulisan saya pada note FB tgl 11 Maret, ketika sahabat SD saya berulangtahun dan saat itu saya teringat padanya, Nining :

Entah kenapa, saat duduk di bangku sekolah dasar aku dan beberapa sahabat mempunyai kebiasaan mengingat tanggal ulang tahun teman. Padahal diantara kami hanya beberapa saja yang rutin merayakan pesta ulang tahun. Walau hari itu berlalu begitu saja, tapi kami beramai-ramai memberikan ucapan dan pelukan kepada sahabat yang sedang berulangtahun.

Ulang tahunku sendiri pernah dirayakan ketika aku duduk di kelas 6 SD. Mungkin karena itu tahun terakhir di SD ataukah orang tua iba padaku yang selalu menjadi tamu di dalam pesta. Tak pernah mengundang teman. Karena dana terbatas, bapak ibuku adalah guru SMP, maka perayaannya juga sangat sederhana. Menu utama pesta adalah tumpeng nasi kuning dan soto ayam. Kok masih ingat? Iya dong, karena itu yang pertama dan terakhir buatku.

Di sekolah, pada hari ulang tahunku itu juga, teman-teman memberikan surprise yang mengesankan. Saat membuka tas sesudah jajan di kantin ada sebuah bungkusan di dalamnya. Ketika kubuka, ternyata berisi segenggam daun kemangi yang dipetik dari kebun sekolah. Bungkusan itu diikat dengan beberapa karet gelang. Spontan aku berlari ke kamar mandi, muntah-muntah. Rupanya mereka menggodaku. Teman-temanku tahu kalau aku punya phobia dengan karet gelang dan benci dengan aroma daun kemangi. Ketika balik lagi ke kelas, mereka masih tertawa terpingkal-pingkal. Diriku? Tentu saja antar marah dan gondok, tapi malu untuk mengungkapkan. 

Saat kami sudah bisa saling kontak lagi lewat FB, ternyata mereka masih ingat kejadian itu. Sekarang sih aku tertawa geli, tapi coba bayangkan perasaanku saat itu?Kebiasaan mengingat hari ulangtahun teman, ternyata masih melekat erat sampai duduk di bangku SMA. Walaupun begitu tidak semua bisa kuingat. Biasanya karena ada sesuatu yang bisa menjadi tonggak pengingatnya. Seperti misalnya Alimin, seorang teman yang pendiam, duduknya diujung belakang. Belum tentu dua minggu sekali aku berbincang dengannya. Kenapa aku masih ingat sampai saat ini? Karena hari ulangtahunnya tepat sehari setelah ulangtahunku. Atau Ronny, sahabatku saat kelas 1 SMA, mempunya hari ulangtahun yang sama dengan tanggal wafatnya ibu sahabatku yang lain.

 Jadi jangan pernah GR kalau aku ingat hari ulangtahunmu.Mengapa aku menyinggung tentang GR? Dalam sebuah group FB ibu rumahtangga, ada yang pernah mengeluh tentang sikap yang harus diambil karena ada seorang teman perempuan suami selalu teringat pada hari ulangtahun suaminya tersebut Apakah berarti perempuan tersebut mempunyai masa lalu dengan suaminya? Ataukah diam-diam dia merupakan pengagum suaminya? Haeduh….tentu saja aku kaget. Segera saat itu kuberi masukan. 
Selain karena aku kadang ingat pada ulang tahun seorang teman, juga karena ada seorang mantan teman kantor suami, perempuan, yang rajin mengucapkan selamat pada hari ulang tahun suamiku. Naksirkah dia? No! Lalu kenapa selalu ingat? Karena kebetulan hari lahir suamiku bersamaan dengan hari ulang tahun Brooke Shields, artis favoritnya.

Ketika sudah sibuk mengurus anak, aku sudah melupakan kebiasaan itu. Apalagi ditambah pengetahuan ilmu agama, yang mengajarkan hanya ada dua perayaan didalam agama Islam, Idul Fitri dan Idul Adha. Aku mulai menganggap hal itu tidak penting. Bagaimana dengan anak-anakku? Mereka tidak kubiasakan untuk merayakan hari ulang tahunnya. Paling sekedar datang ke sekolah, membawa kue dan meniup lilin bersama guru dan teman-temannya. Di rumah kusiapkan nasi kuning dan ada sekedar hadiah untuk anak yang berulangtahun. Sebagai penyeimbang, pada hari Idul Fitri dan Idul Adha aku juga memberikan hadiah pada mereka. Dengan hadiah itu, aku berharap mereka sadar bahwa hari itu istimewa bagi kita umat Islam. Dan ternyata benar mereka selalu menunggu datangnya hari ulangtahun dan kedua hari raya kita.
Fatalnya, adalah saat pergaulan sudah mulai merembet ke tingkat antar bangsa. Sesuatu yang sepele bagi kita, ternyata sangat penting nilainya untuk bangsa lain. Tetanggaku, sekaligus sahabat baik saat kami tinggal di Argentina, sempat marah beberapa tahun. Aku lupa mengirimkan ucapan selamat pada saat hari ulang tahunnya tiba. Email dariku tak lagi dijawabnya. Salahku juga sih, karena sebulan sebelumnya aku sudah diingatkan olehnya, kalau mereka sedang bersiap-siap membuat pesta. Untung kejadian yang tak mengenakkan beberapa tahun lalu, sudah membaik. Lagi-lagi FB yang mempertemukan kami lagi. Tentu saja, dengan pengingat dari FB aku tak pernah lagi lupa pada hari ulang tahun mereka.
Ketika kami pindah ke Rio de Janeiro, undangan pesta ulangtahun untuk anak-anak bertambah banyak. Orang Amerika Latin, baik pendatang maupun orang lokal lumayan banyak di American School, tempat sekolah anak-anakku. Mereka memang dikenal senang berpesta. Lama pestanya pun tidak main-main, empat jam. Karena perbandingan tempat pesta dengan pengguna tidak seimbang maka untuk pesan tempat di akhir pekan sangat sulit.

 Beberapa kali anak bungsuku yang baru berusia tiga tahun menerima undangan di hari sekolah, pada malam hari! Dari jam 17.30 sampai dengan jam 21.30. Dengan banyaknya undangan, tentu saja aku lebih selektif. Baik dari pertimbangan waktu pesta, jenis pesta maupun jarak tempuh dari rumah. Kalau tidak wah bisa jadi party kids deh anak-anakku.Jenis pestanya cukup beragam. Untuk yang berusia tiga sampai delapan tahun masih bermain di arena bermain, atau di rumah pertanian. Yang diundang sekeluarga pula. 
Untuk anak sulungku, usia 11 tahun, undangan pesta lebih variatif. Bisa dengan cara melakukan aktifitas di beberapa tempat kursus, seperti melukis, mengecat keramik atau bahkan manikur dan berdandan ala artis. Setelah selesai, mereka akan berlenggak-lenggok di karpet merah, melakukan semacam fashion show. Belakangan ini undangan limo party sedang menjadi mode. Biasanya yang diundang hanya teman karib saja, sekitar delapan sampai sepuluh anak. Anak-anak itu diajak berkeliling kota naik mobil limousine selama sekitar dua jam, didampingi orangtua yang berpesta. Sehabis itu, kadang dilanjutkan pijama party.
Pijama party hanya dilakukan antar teman dekat saja. Jadi, aku sudah kenal betul dengan orangtua temannya. Sudah tahu situasi dan peraturan dalam rumah itu. Karena sudah kenal, aku bisa berpesan agar mereka mengingatkan anakku untuk tidak lupa melakukan sholat lima waktunya. Suatu hal yang tidak mudah, karena kami satu-satunya keluarga muslim di sekolah itu.Aku yang masih bertahan untuk tidak mengadakan pesta bagi anak-anak, kadang sering merasa tidak konsisten. Di satu sisi aku tidak ingin menghabiskan biaya yang cukup mahal. Sepertinya kok sia-sia ribuan dolar, untuk sebuah pesta. Apalagi ada pendapat kalau hukum asalnya dilarang merayakan. Di sisi lain aku tahu betul anak-anakku pasti juga ingin menjadi pengundang pesta. 

Seperti yang kualami dulu sewaktu kecil.Nasehat Hanadi, orang Suriah, mantan tetanggaku di Libya dulu, adalah jangan pernah membiarkan anakmu datang ke pesta ulang tahun. Karena suatu ketika mereka akan minta untuk dirayakan juga. Alasan dia, perayaan itu bidah. Tidak ada ajarannya. Hmmm, anak-anakku yang masih kecil ini, yang masih harus ditegakkan kuat aqidahnya, apa sudah harus diperkenalkan dengan hukum bidah? Aku sedikit khawatir kalau mereka merasa Islam itu tidak fun. Yang ada hanya larangan saja. Lagipula hari berikutnya, pasti semua temannya akan membicarakan pesta itu di sekolah.
Pernah juga untuk si sulung kami mengadakan pesta sederhana. Bukan pesta ulangtahun, tapi pesta perpisahan, saat kami akan pindah dari Dubai ke Brasil. Pesta diadakan di sebuah tempat kursus membuat craft. Mereka yang datang diajak melukis di atas gelas. Gelas hasil lukisannya boleh dibawa pulang. Sederhana, tapi berkesan.

Di Rio de Janeiro aku belum menemukan tempat pesta yang jauh dari kesan hura-hura. Apa yang kulakukan ketika anak-anakku minta dirayakan? Kujelaskan pada mereka besarnya biaya sebuah pesta. Berapa besarnya biaya sebuah tiket pulang ke Indonesia, atau untuk berlibur. Begitu juga dengan besarnya penghasilan rata-rata orang Indonesia. Pesta sederhana di apartemen sendiri? Rasanya tak mungkin. Anak-anak membutuhkan ruang lapang untuk bermain, dan itu kami tak punya. Untunglah sampai saat ini, mereka masih bisa menerimanya. Semoga juga untuk nantinya.